Sabtu, 31 Maret 2012

Update Page Rank Google February 2012


Update Page Rank Google  February 2012 - Tidak disangka, Tidak di duga ternyata baru saja Google Update Page Rank di awal 2012 ini atau tepatnya tanggal 6 February kemarin.
Memang di bandingkankan yang sebelumnya, Update Page Rank Google kali ini terbilang cukup lama, karena mengingat sebelumnya Update Page Rank Google November 2011 Jadi sekitar 3 bulan Google baru kembali mengupdate Page Rank nya.

Update Page Rank Google  February 2012

Padahal kita ketahui bahwa pada Update PR Google sebelumnya hanya berjarak sekitar 1 bulan saja yaitu Oktober 2011 dan November 2011.
Semua blog saya pun mengalami kenaikan Page Rank, berkisar 1 sampai 2 yang tadinya PR 1 menjadi PR 3 dan blogdhika.com ini pun mendapat 1 PR lagi menjadi PR 2, walaupun blogdhika.com ini pernah mendapat PR 3, tetapi saya cukup puas walaupun saat ini hanya PR 2.

Ada juga 2 blog saya yang padahal saya buat hanya untuk mengotak-atik template dan baru mempunyai artikel kurang dari 10 tetapi mendapat PR 1, saya pun tidak begitu mengerti dari mana penilaian Google terhadap blog saya tersebut, karena mendapat 1 pengunjung perharinya pun sudah lumayan

Bagaimana dengan blog anda, sudahkah anda mengecek PR blog anda?

Ingat lah jangan terlalu berpuas diri jika Google memberikan PR yang tinggi untuk blog anda, sebaliknya itu harus menjadi motivasi diri anda untuk lebih mengembangkan blog anda.
Dan untuk yang belum puas akan Update Page Rank Google February ini, jangan lah terlalu berkecil hati karena kita ketahui kalau Page Rank Google bukan lah segala-gala nya untuk blog, karena banyak di luar sana blog yang memiliki PR bagus tetapi Traffic atau pengunjungnya rendah.

Ingin punya WebsiteToko onlineBlog Dinamis dengan harga mulai dariRp.50.000

Sabtu, 24 Maret 2012

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO ilustrasi
SendangLaksana sumber rindu yang genang
airmu candu bagi pemburu tenang
Ada riwayat yang kau dengungkan
langgam rubaiyat tembang,
dimana secarik selendang telah menjadi lambang
Dan kisah bermula-
Jaka Tarub sang lelaki yang mencintai hidup
sahaja dengan cinta mengembara
menggetari sekujur tubuhnya
Di hari yang telah di kehedakkan
Jaka Tarub tiba di sebuah sendang
tujuh tubuh ranum rupa jelita- panorama yang belum pernah ia jumpa
terumbar menghampar serta merta mendidihkan darahnya
yang semula tenang
menjadi muda- semuda tunas tualang
tumbuh tegang tak mampu ia kekang
Terpaut kabut birahi
secarik selendang ia curi
kemben salah satu bidadari yang tengah mandi
Maka melantunlah dari kelembutan bibirnya,
Nawang Wulan mengurai tembang:
Duh Gusti, pengampun silap diri
dengan apa  aku kini pulang
menuju tempat tinggi – yang suci
sedang agemanku telah hilang
Duh Gusti, penjernih kelam terang
dengan apa kututupi bayang
ragaku yang sepi dalam sendang
sedang betapa perihnya dukaku telanjang
Jaka Tarub- dengan darah birahinya semakin meletup 
ia ulurkan secarik selendang lain
ke Nawang Wulan yang gemetar
tertawan cinta dari seorang lelaki kekar
Demikian dari dasar sendang mengudar mata air
-Nawang Wulan telah memenuhi wadah takdir
Menjalani hidup bersama Jaka Tarub
lelaki yang sejak mula tercederai luput
membuat Nawang Wulan lulut-kepincut
Yang kemudian kelak meninggalkan Jaka Tarub abai sendiri di tepi sendang
dalam sepi yang sekekal maut
Pagar Bambutelah kubuat pagar
dari bilah-bilah bambu
lalu kudirikan
dengan rasa sepi di kalbu
kupangkasi perdu di sekitarnya yang merimbun
namun kubiarkan tunas-tunasnya menyemaki
kalender penghujung tahun
di jalan setapak depan rumahku
jatuh sekelopak kembang sepatu
dimana petal-petalnya telah memar
seperti teremas jemari basah yang samar 
mengingatkanku kala dahulu
-segurat lebam di rawan hatiku
kini telah kudirikan pagar
sekedar  pagar bambu
lanjaran sulur-sulur segar
bagi pedihnya kalbu
Testimoni  Hujan
arakan awan
riuh udara berjumpalitan
jerit kerumunan camar
di pundak karang,

menjelma buih-buih doa mengambang
di permukaan kitab gelombang
samudera-lembah, hutan-gunung-tanah
menyaksikan kelahiran:
ribuan anak-anak hujan
pecah
menjadi ribuan sayap beterbangan
menancap di dada air
menyesap nafasmu dalam gemuruh zikir
membawamu tenggelam bersujud
di hamparan sajadah pasir
di laut,
gelombang maut seperti mengintip dari balik tabir
namun langit dengan lapang melepasmu:
hingga lewat terjauh kau memulang takdir
di lembah,
tangan-tangan kabut tengadah
menyambutmu dengan kerinduan membungah
di hutan,
mata-mata daun membasah
meluruh pada batang-cabang, membasuh mimpi-luka buah
mematangkan kidung-kidung nubuwah
di gunung,
kau pisahkan antara debu-debu
dan nafsu-nafsu
yang kukuh mewaktu
dalam doa-doa hening semedi para batu
pada tanah,
butir-butirmu mengecambah
menjadi tunas-tunas bermadah
sempurna
serupa cinta
memaut rindu
mewujud ungu
ungu yang terus menggenang
menjelma ribuan kembang
menaburi duka-duka yang mulai lapang
Perempuan Itu
perempuan itu bergegas
mengakhiri menyirami bunga-bunganya
dalam pot-pot berjajar rapi di teras

bayang matahari yang condong ke barat
menyelusup lembut  lewat
tingkap-tingkap selasar rumah kayunya
mendesirkan sedikit perasaan hangat

garis-garis wajahnya tidak mudah dibaca
perpaduan lembut tegas
rapuh juga trengginas

saban petang
ia menyiapkan jamuan sederhana
di atas meja bertaplak kain setrimin bermotif bunga-bunga
seolah ada yang selalu datang
-seseorang yang dikiranya pasti pulang

Jakarta, November 2011
Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar. Puisinya di muat di Jurnal Jombangana, Bali Post dan beberapa antologi bersama. Saat ini bekerja di Jakarta
Ada riwayat yang kau dengungkan
langgam rubaiyat tembang,
dimana secarik selendang telah menjadi lambang
Dan kisah bermula-
Jaka Tarub sang lelaki yang mencintai hidup
sahaja dengan cinta mengembara
menggetari sekujur tubuhnya
Di hari yang telah di kehedakkan
Jaka Tarub tiba di sebuah sendang
tujuh tubuh ranum rupa jelita- panorama yang belum pernah ia jumpa
terumbar menghampar serta merta mendidihkan darahnya
yang semula tenang
menjadi muda- semuda tunas tualang
tumbuh tegang tak mampu ia kekang
Terpaut kabut birahi
secarik selendang ia curi
kemben salah satu bidadari yang tengah mandi
Maka melantunlah dari kelembutan bibirnya,
Nawang Wulan mengurai tembang:
Duh Gusti, pengampun silap diri
dengan apa  aku kini pulang
menuju tempat tinggi – yang suci
sedang agemanku telah hilang
Duh Gusti, penjernih kelam terang
dengan apa kututupi bayang
ragaku yang sepi dalam sendang
sedang betapa perihnya dukaku telanjang
Jaka Tarub- dengan darah birahinya semakin meletup 
ia ulurkan secarik selendang lain
ke Nawang Wulan yang gemetar
tertawan cinta dari seorang lelaki kekar
Demikian dari dasar sendang mengudar mata air
-Nawang Wulan telah memenuhi wadah takdir
Menjalani hidup bersama Jaka Tarub
lelaki yang sejak mula tercederai luput
membuat Nawang Wulan lulut-kepincut
Yang kemudian kelak meninggalkan Jaka Tarub abai sendiri di tepi sendang
dalam sepi yang sekekal maut
Pagar Bambutelah kubuat pagar
dari bilah-bilah bambu
lalu kudirikan
dengan rasa sepi di kalbu
kupangkasi perdu di sekitarnya yang merimbun
namun kubiarkan tunas-tunasnya menyemaki
kalender penghujung tahun
di jalan setapak depan rumahku
jatuh sekelopak kembang sepatu
dimana petal-petalnya telah memar
seperti teremas jemari basah yang samar 
mengingatkanku kala dahulu
-segurat lebam di rawan hatiku
kini telah kudirikan pagar
sekedar  pagar bambu
lanjaran sulur-sulur segar
bagi pedihnya kalbu
Testimoni  Hujan
arakan awan
riuh udara berjumpalitan
jerit kerumunan camar
di pundak karang,

menjelma buih-buih doa mengambang
di permukaan kitab gelombang
samudera-lembah, hutan-gunung-tanah
menyaksikan kelahiran:
ribuan anak-anak hujan
pecah
menjadi ribuan sayap beterbangan
menancap di dada air
menyesap nafasmu dalam gemuruh zikir
membawamu tenggelam bersujud
di hamparan sajadah pasir
di laut,
gelombang maut seperti mengintip dari balik tabir
namun langit dengan lapang melepasmu:
hingga lewat terjauh kau memulang takdir
di lembah,
tangan-tangan kabut tengadah
menyambutmu dengan kerinduan membungah
di hutan,
mata-mata daun membasah
meluruh pada batang-cabang, membasuh mimpi-luka buah
mematangkan kidung-kidung nubuwah
di gunung,
kau pisahkan antara debu-debu
dan nafsu-nafsu
yang kukuh mewaktu
dalam doa-doa hening semedi para batu
pada tanah,
butir-butirmu mengecambah
menjadi tunas-tunas bermadah
sempurna
serupa cinta
memaut rindu
mewujud ungu
ungu yang terus menggenang
menjelma ribuan kembang
menaburi duka-duka yang mulai lapang
Perempuan Itu
perempuan itu bergegas
mengakhiri menyirami bunga-bunganya
dalam pot-pot berjajar rapi di teras

bayang matahari yang condong ke barat
menyelusup lembut  lewat
tingkap-tingkap selasar rumah kayunya
mendesirkan sedikit perasaan hangat

garis-garis wajahnya tidak mudah dibaca
perpaduan lembut tegas
rapuh juga trengginas

saban petang
ia menyiapkan jamuan sederhana
di atas meja bertaplak kain setrimin bermotif bunga-bunga
seolah ada yang selalu datang
-seseorang yang dikiranya pasti pulang

Jakarta, November 2011
Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar. Puisinya di muat di Jurnal Jombangana, Bali Post dan beberapa antologi bersama. Saat ini bekerja di Jakarta.